Monday, January 15, 2018

My Name is Mom...

Bismillahirrahmanirrahim...


Ternyata diliat dari post terakhir sudah setahun lamanya saya tak posting apa2 yaa...
Harap dimaklumi, tahun 2017 banyak hal yang membuat saya harus lebih memfokuskan diri ke kehidupan realita. 
Mulai dari kuliah, pengurusan visa, kehamilan dan tentu saja melahirkan.
Yaaa saya seorang ibu sekarang, ibu yang pun alhamdulillah sudah mendapat gelar B.Sc., yahoo ;)
Awal tahun 2017 lalu ketika tau saya hamil, rasanya campur aduk. 
Khawatir, iya.
Seneng, iya.
Takut, ini udah pasti sih, sowieso... Seumur hidup belum pernah belajar tentang parenting dan belum pernah sama sekali terbayang bakal secepat ini harus mulai belajar. Daaaan, disaat masih ada amanah lain, yaitu lulus...
Sebenernya kalau ngomongin tentang pregnancy, hal ini bukanlah sesuatu yang out of plan karena saya sendiri gak nunda. Soalnya pengennya punya anak ketika masih muda dan produktif. Tapi gak menyangka Allah kasihkan amanah untuk saya dan suami secepat itu.
Disaat itu pikiran saya cuma, “Beneran gak sih hamil? Is it that easy.”
Saya yang saat itu masih menikmati perubahan status dari single menjadi double, eh sekarang udah mau triple aja, haha...
Kalau ditanya reaksi suami saya gimana, dia cengar-cengir bahagia. Karena dia suka anak kecil dan memang dia pengen cepet jadi bapak.

Selama hamil saya inget banget pikiran saya penuh dengan ketakutan. Apalagi setelah mulai menyemplungkan diri ke banyak artikel tentang pregnancy, berupa pantangan-pantangan dan risiko.
Awal-awal hamil takut hamil anggur-lah. Kondisi dimana janin gak berkembang. Tapi langsung lega setiap cek kandungan kalau si kecil sehat dan tumbuh sempurna.
Takut tidak ternutrisi secara baik-lah.
Takut cacat-lah.
Takut keguguran-lah.
Banyak deh. Tapi karena akhirnya pak suami menangkap ketakutan saya ini dia jadi lebih siaga melihat perubahan mood istrinya dan selalu ngingetin untuk bilang,” Bismillah, kita pasti bisa.” Dan saat itu juga, lebur semua ketakutan.

Akhirnya daripada terlalu banyak memikirkan hal yang gak penting, saya berusaha lebih memfokuskan diri ke kehidupan perkuliahan saya. 
Pengennya lulus sebelum bayinya lahir. Jadi nanti bisa lebih fokus ke kehamilan dan proses lahiran. Daaaaan alhamdulillah, Juni 2017 lalu saya officially memegang gelar B.S.c. :’)
Setelah banyak banget tetesan air mata, keringat, pegel-pegel (karena lokasi kampus cukup jauh,hehe), dan doa yang unendlich. 
Dan saya pun, official jadi ibu-ibu “pengangguran.” Karena bener-bener gak banyak hal yang saya bisa lakuin selama hamil.
Hamil kemarin bener-bener bikin stamina saya cepet drop.
Gak kuat jalan terlalu lama, karena perut, pinggang dan telapak kaki cepat sakit kalau terlalu diforsir. Alhasil stay dirumah dan menikmati saat-saat nganggur yang jarang bareng bisa dinikmati sebelumnya.
Saya dulu jarang banget dirumah karena harus kerja, kuliah dan belum lagi banyak rapat-rapat kepanitiaan event-event di Berlin. Apalagi pas masih single, pergi orang rumah masih dibawah selimut, pulang mereka udah dibawah selimut lagi, haha. Pulang hanya numpang tidur dan mandi.
Saat hamil, bahkan suami saya melarang untuk bekerja dan fokus ke kehamilan saja.
Alhamdulillah, yang dinanti-nanti pun akhirnya muncul ketengah-tengah keluarga kami pada tanggal 5 September 2017.



Selamat datang wahai sang penyejuk hati ibun dan buya, Nayala Adiva Irsyad ❤️...

Monday, January 2, 2017

Kehidupan Pernikahan dan Rumah Baru



Bismillahirrahmanirrahim


Ijab Qabul pada tanggal 18 September 2016 lalu telah otomatis membuat status saya berubah dari single menjadi double.
Otomatis yang tadinya tidak ada tanggungjawab apa-apa kecuali untuk diri sendiri-pun berubah menjadi adanya tanggungjawab sebagai seorang istri.
Banyak pula perubahan semisal emosi yang berbeda dari semenjak sebelum menikah dulu. Yang tadinya seneng, ya seneng sendiri. Sedih ya sedih sendiri. Kesel ya kesel sendiri.
Kalau sekarang ? Dibagi buat berdua.
Apa yang aku rasakan, dia rasakan dan apa yang dia rasakan aku rasakan.

2 kehidupan berbeda dari 2 rumah tangga berbeda menjadi satu itu juga ternyata punya pengalaman tersendiri dalam prosesnya untuk menjadi satu. Walaupun kehidupanku dan si Mas juga masih dalam proses belajar untuk menjadi angka satu yang utuh.
Watak kami berbeda, pola hidup dan pola pikir pun berbeda. Dia Betawi dan aku Jawa.
Aku dan Mas pun tidak pacaran sebelumnya. Jadi proses ta'aruf setelah menikah membuat kehidupanku seperti bumbu masak di dapur rumahku. Ada gula, garam, lada, vanilli, kemiri dan lainnya, haha.
Tapi secara keseluruhan, membuat ritme kehidupan menjadi lebih seru.

Sama serunya ketika cari rumah baru untuk tempat tinggal kami berdua saat pulang dari Indonesia nanti.
Di Berlin, cari rumah itu bener-bener gak mudah sekarang. Bahkan untuk para pelajar sekalipun yang notabennya punya tempat khusus apartment untuk pelajar.
Waiting listnya bisa satu tahun lebih. Kalo glück beda cerita ya.
Belum lagi masalah lokasi, harga dan ukuran kamar yang belum tentu cocok.
Bisa jadi harga cocok tapi kalau  buat berdua ukuran rumah terlalu kecil. Atau kamar mandi dan dapur sharing sama oranglain. Atau ada yang kamar mandi, dapur udah include dan kamar pas buat berdua tapi harga ketinggian atau gak tersedia dan bahkan harus antri berpuluh-puluh orang dulu.
Waktu itu, untuk masalah rumah aku gak terlalu rewel sama si Mas sih. Yang penting kamar mandi dan dapur di dalem. Karena kurang nyaman kayanya ya, kalau sampai keluar kamar cuma sebentar harus ganti-ganti baju dulu.

Tapi memang ya, Allah Maha Kaya dan Allah tidak akan pernah ingkar pada janji-Nya.

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nur [24]: 32)

Sesaat sebelum menikah si Mas ditawari rumah di tengah kota. Di lokasi yang strategis.
Deket sama kendaraan umum manapun. Ada bis, ada U-Bahn, ada S-Bahn. Deket juga sama toko dan restaurant-restaurant halal.
Didalam  rumah juga udah include semua yang dibutuhin hehe.
Saat apply ke yang punya rumah pun berasa Allah mudahkan. Semuanya mulus banget. Alhamdulillah :)

***

Ada satu hal yang mau saya bagi dari hasil pembicaraan saya dan kakak ipar saya waktu sebelum menikah.

Rata-rata dari kita sekarang, ketika punya barang dan barang itu rusak, langsung terpikir untuk mengganti barang yang rusak itu dengan yang baru dan membuang yang lama.
Beda hal-nya dengan orang-orang terdahulu dimana barang yang rusak itu akan sebisa mungkin untuk dikembalikan seperti semula agar berjalan sesuai fungsinya.

Sama halnya seperti pernikahan. 
Ketika melakukan kesalahan satu atau dua. Bukan mengganti dengan yang baru atau merasa akhir dari perjalanan pernikahan. Tapi kesalahan itu adalah bagian dari proses untuk membuat yang tadinya dua menjadi satu.
Melalui apa? Melalui komunikasi.
Terkadang apa yang aku pikirkan dan si Mas pikirkan berbeda. Dan hal yang berbeda ini baru bisa sama melalui komunikasi.
Kalau ada yang gak cocok, komunikasikan. Aku suka ini kamu suka gak ?
Tapi pernikahan itu juga harus take and give. Gak bisa kita mau take mulu tapi gak pernah give apa-apa.
Karena pernikahan itu dua arah dan bukan satu arah.

Masih terlalu cepat si memang untuk sok-sokan kasih masukan. Tapi at least pernikahanku yang baru jalan 4 bulan ini sudah merasakan pentingnya konsep diatas. Dan kami berdua tentunya masih dalam tahap belajar lagi dan lagi sampai menemukan poros yang pas menurut kami berdua :)

Mohon doanya ya guys, supaya pernikahan kami menjadi pernikahan yang barakah :)

Salam Hangat,

EKP dan II